Senin, 13 Agustus 2012

Yusuf Arimatea (Rabu, 8 Agustus 2012)

Bacaan hari ini: Matius 27:57-61 “Menjelang malam datanglah seorang kaya, orang Arimatea, yang bernama Yusuf dan yang telah menjadi murid Yesus juga. Ia pergi menghadap Pilatus dan meminta mayat Yesus.” (Matius 27:57-58a) Pada hari ketika Yesus disalib, para pemimpin Yahudi merasa sangat puas dan menang. Namun pertanyaannya, siapakah yang akan menurunkan mayat-Nya untuk dikubur? Menurut Ulangan 21:22-23, setiap mayat yang digantung di tiang harus segera diturunkan dan dikubur. Tetapi, siapakah yang akan melakukan tugas ini? Seharusnya, yang paling bertanggung-jawab adalah ke-sebelas murid Yesus, tetapi mereka sudah melarikan diri karena takut. Seandainya pun ke-sebelas murid mau melakukan hal ini, mereka akan terbentur pada kesulitan untuk bertemu Pilatus, guna memperoleh izin menurunkan mayat Yesus. Untuk kebutuhan tersebut, Yusuf Arimatea memberanikan diri datang kepada Pilatus dan meminta mayat Yesus. Siapakah Yusuf Arimatea ini? Nama ini belum pernah disebutkan sebelumnya dalam Alkitab. Injil Yohanes hanya mencatat bahwa dia adalah murid Yesus yang tersembunyi, dan salah satu dari anggota Sanhedrin. Yusuf Arimatea disimpan Tuhan sampai pada satu waktu, di mana dia harus muncul menghadap Pilatus. Momen ini merupakan momen yang luar biasa, karena tidak ada orang lain yang bisa masuk menghadap Pilatus untuk menyelesaikan penguburan Tuhan Yesus. Allah mempersiapkan Yusuf Arimatea selama bertahun-tahun untuk momen ini. Demikian juga, Allah telah mempersiapkan Ratu Ester untuk menyelamatkan bangsa Yahudi yang ingin dibinasakan oleh Haman. Mordekhai berkata kepada Ratu Ester, “Jangan kira, karena engkau di dalam istana raja, hanya engkau yang akan terluput dari antara semua orang Yahudi. Sebab sekalipun engkau pada saat ini berdiam diri saja, bagi orang Yahudi akan timbul juga pertolongan dan kelepasan dari pihak lain, dan engkau dengan kaum keluargamu akan binasa. Siapa tahu, mungkin justru untuk saat yang seperti ini engkau beroleh kedudukan sebagai ratu” (Est. 4:14). Bagaimana dengan Anda? Jika Allah menggerakan hati Anda untuk mengerjakan sesuatu bagi kemuliaan-Nya, siapa tahu inilah saatnya Anda bertindak! STUDI PRIBADI: Percayakah Anda bahwa Allah telah mempersiapkan segala sesuatu untuk menggenapkan rencana-Nya? Apakah Allah juga memiliki rencana bagi Anda? DOAKAN BERSAMA: Berdoalah kepada Tuhan, agar Ia memberikan kepada setiap kita kepekaan untuk mengerti kehendak-Nya, sehingga kita dapat bertindak dengan tepat, sesuai waktu dan rencana-Nya.

Reputasi Murid Kristus (Selasa, 07 Agustus 2012)

Bacaan hari ini: 1 Petrus 2:11-17 “Hormatilah semua orang, kasihilah saudara-saudaramu, takutlah akan Allah, hormatilah raja!” (1 Petrus 2:17) Pentingkah penilaian orang lain terhadap diri kita? Apakah reputasi baik itu penting bagi anak-anak Tuhan? Dalam bukunya, Life as a Vapor, John Piper menyatakan, “Kita harus mempedulikan penilaian orang lain terhadap kita sebagai wakil Kristus. Sedangkan penilaian orang lain tentang diri pribadi kita, tidaklah penting.” Ini berarti sebagai anak-anak Tuhan kita juga membawa reputasi Kristus di dalam diri kita. Apakah Kristus ditinggikan melalui hidup kita? Atau, reputasi Kristus justru merosot karena cara hidup kita yang salah? Sebagai anak-anak Tuhan, kita mempunyai tugas penting, yaitu menjaga reputasi Kristus di dalam diri kita. Dalam suratnya yang pertama, Petrus memberikan nasihat kepada jemaat untuk memperhatikan cara hidup mereka di tengah masyarakat. Ia menyebut jemaatnya sebagai “kaum pendatang dan perantau”. Sebutan ini terkait dengan status kewarganegaraan jemaat sebagai pendatang dalam kekaisaran Romawi. Selain itu, penyebutan ini juga menunjuk pada status setiap kita yang adalah pendatang di dunia ini. Karena kita adalah warga Kerajaan Allah, kita berbeda dan menjadi sorotan dunia ini. Ini berarti, kita harus memperhatikan cara hidup kita di tengah mereka yang hidup di dunia ini. Bagaimana caranya? Pertama, menjauhkan diri dari keinginan daging (ay. 11-12), sebab keinginan daging berasal dari dunia (Gal. 5:19-21) dan tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Kedua, tunduk pada pemerintah (ay. 13-15). Pemerintah merupakan lembaga yang didirikan dan ditetapkan Allah untuk melindungi kita dari kekacauan dan pelanggaran hukum sebagai akibat dari dosa. Karena itu kita harus tunduk kepada pemerintah. Ketiga, hidup selayaknya orang yang merdeka (ay. 16-17), yakni hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. Sebagai penutup, tiap anak Tuhan diperintahkan untuk: Hormatilah semua orang, kasihilah saudara-saudaramu, takutlah akan Allah, hormati raja! Bagaimana dengan Anda? Mari kita mau berusaha menjaga reputasi Kristus dalam hidup kita, sehingga ketika orang lain melihat ke dalam hidup kita, nama Kristus semakin dimuliakan. STUDI PRIBADI: Apakah selama ini kita telah menjaga reputasi Kristus dengan baik? Apakah melalui hidup kita, orang-orang dapat melihat kemuliaan Tuhan? DOAKAN BERSAMA: Berdoalah agar Roh Kudus membantu kita hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. Berdoalah agar hidup kita tidak menjadi batu sandungan bagi orang-orang di sekitar kita, melainkan menjadi berkat bagi yang membutuhkan.

Menghitung Hari (Senin, 06 Agustus 2012)

Bacaan hari ini: Mazmur 90 “Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.” (Mazmur 90:12) Ada dua tipe orang di dunia ini. Pertama, orang yang suka menunda-nunda, yaitu orang yang terlalu santai dalam menghadapi hidup. Prinsipnya: “masih ada hari esok”. Sedang tipe yang kedua adalah orang yang bijak, yaitu yang tidak suka membuang-buang waktu dengan percuma. Prinsipnya: “esok ‘kan terlambat”. Termasuk tipe manakah kita? Tema Mazmur 90 ini membahas mengenai kehidupan manusia yang sangat singkat. Mazmur ini ditulis Musa sebagai refleksi dari kehidupan bangsa Israel ketika di padang gurun. Musa melihat bagaimana kehidupan mereka dipenuhi kesukaran dan penderitaan karena murka Allah yang menimpa mereka. Pada ayat 7 dikatakan, “Sungguh, kami habis lenyap karena murka-Mu”; pada ayat 8 dikatakan, “Engkau menaruh kesalahan kami di hadapan-Mu”; dan pada ayat 9 dikatakan, “Sungguh, segala hari kami berlalu karena gemas-Mu, kami menghabiskan tahun-tahun kami seperti keluh.” Karena melihat penderitaan yang dialami bangsa Israel lah, Musa lalu merefleksikan kehidupan manusia. Di mata Tuhan, manusia itu seperti debu, tidak ada artinya sama sekali. Bahkan dikatakan, “seribu tahun tidak ada artinya, hanya seperti satu hari saja di hadapan Tuhan.” Frase ini menunjukkan bahwa hidup manusia berlalu sangat cepat; manusia lahir, bertumbuh dewasa, tua, lalu meninggal; semua proses ini berlangsung begitu cepatnya. Karena itulah Musa memanjatkan permohonan pada Tuhan, “Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana” (ay. 12). Dalam Alkitab versi Bahasa Indonesia sehari-hari, doa ini dituliskan, “Sadarkanlah kami akan singkatnya hidup ini supaya kami menjadi orang yang berbudi.” Ketika menjalani kehidupan di dunia ini, satu hal yang harus kita sadari, yakni “hidup ini sangat singkat.” Sesungguhnya, kematian adalah sesuatu yang tidak terduga. Dan, tidak seorang pun tahu kapan ia akan mengakhiri hidupnya. Karena itu, kita harus menggunakan waktu-waktu yang ada dengan bijak. STUDI PRIBADI: Bagaimana selama ini kita mengisi hidup kita? Apa yang seharusnya kita lakukan dalam hidup yang singkat ini? DOAKAN BERSAMA: Berdoa bagi diri kita sendiri, agar kita selalu diberikan hikmat dan bijaksana dalam menjalani kehidupan ini, sehingga kita menggunakan waktu-waktu ini dengan bertanggung-jawab dan memuliakan Tuhan.

Menghargai dan Mengefektifkan Anugerah Allah (Minggu, 05 Agustus 2012)

Bacaan hari ini: 1 Korintus 15:10 “Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras...” (1 Korintus 15:10) Suatu kali, seorang peminta-minta mendapatkan belas kasihan dari seorang jutawan yang memberinya uang 10 juta. Dalam hidupnya, ia tidak pernah menerima uang sebanyak itu. Maka, ia pun bergumul, untuk menyimpannya di bank dan tetap melakukan pekerjaannya seperti biasa; atau ia tidak lagi menjadi peminta-minta, dan memulai hidup yang baru sebagai wiraswastawan. Pergumulannya tidak mudah, karena ia tidak memiliki pengalaman dan telah bertahun-tahun ia menjadi peminta-minta. Akhirnya, satu keputusan diambil, bahwa ia tidak akan menyia-nyiakan kemurahan jutawan tersebut, dan ia tidak ingin menjalani kehidupan lamanya lagi sebagai peminta-minta. Alhasil, kehidupannya pun berubah dan ia menjadi seorang pengusaha. Kisah ini mengingatkan kita terhadap apa yang Allah sudah kerjakan dalam hidup kita. Ia sudah memberi kepada kita anugerah keselamatan dan menjadikan kita anak-anak-Nya. Namun, berapa banyak di antara kita yang berusaha menghargai anugerah itu dengan hidup berkenan dan melayani Dia. Jika dahulu kita hidup untuk kepentingan diri sendiri, adakah hari ini kita hidup untuk kepentingan Kerajaan Allah? Peminta-minta yang menjadi pengusaha tersebut, pada akhirnya menjadi rekan kerja jutawan yang murah hati. Ia senang, dan hidupnya semakin efektif dalam pekerjaannya yang baru. Bagaimana dengan kita? Paulus telah merasakan anugerah Allah, ia tidak lagi menyia-nyiakan anugerah itu. Jika dahulu ia melayani ke-ego-annya, sekarang ia melayani Allah. Anugerah yang Tuhan berikan kepadanya menjadi efektif dalam hidupnya. Ia semakin bekerja keras dalam pelayanan dan menjadi “rekan sekerja Allah” dalam ladang-Nya (1Kor. 3:9). Jika hari ini kita menyadari anugerah Allah, masihkah kita mau hidup dalam kehidupan lama kita? Hidup untuk diri sendiri dan tidak pernah beranjak dari sana? Janganlah demikian! Mulailah dengan gaya hidup yang baru, yaitu hidup bagi Tuhan dan bekerja keras bagi kemuliaan-Nya; sebab segala jerih payah kita tidak sia-sia! (1Kor. 15:58), dan kita disebut: “hamba yang baik dan setia!” STUDI PRIBADI: Apa yang membuat Paulus mengalami perubahan hidup? Bagaimana caranya Paulus menghargai anugerah Allah dalam hidupnya? DOAKAN BERSAMA: Berdoalah bagi jemaat agar mereka mulai memikirkan keterlibatan mereka dalam perluasan kerajaan Allah di muka bumi ini, dan semakin efektif dalam hidup mereka bagi Tuhan.

Masih Untung Saya Mau Melakukannya! (sabtu, 04 Agustus 2012)

Bacaan hari ini: Roma 12:1-2 “…demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu… persembahkanlah tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah…” (Roma 12:1) Sesungguhnya dampak individualisme dalam kehidupan masyarakat modern sangat besar, sehingga ke-ego-an mereka begitu nampak dalam mempertahankan hak mereka; tetapi tidak demikian, ketika mereka diminta untuk memperhatikan orang lain, mereka begitu rapuh dan kurang peduli. Gaya hidup demikian tanpa terasa telah menghantam sendi-sendi kehidupan iman Kristen. Dalam melayani Tuhan maupun mengasihi sesama, kita tidak lagi melakukannya berdasarkan firman Tuhan, tetapi berdasarkan “privasi” kita. Itulah sebabnya pada masa kini, ada kalanya kita menjumpai ucapan yang menyentak hati kita, yaitu: “Masih untung, saya mau melayani!” atau “Masih untung, saya mau menyumbangkan uang saya untuk pelayanan gereja!” atau “Masih untung, saya mau datang ibadah! Jadi, jangan pernah paksa saya!” Kesan yang muncul dari ucapan tersebut adalah, orang tersebut ingin melakukan pelayanan, ibadah atau memberikan persembahan, jika dirinya tergerak. Namun sebenarnya, tidak demikian. Ia sedang menjunjung tinggi privasi atau ke-ego-annya. Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus menegaskan: “Demi kemurahan Allah, aku menasihatkan kamu, persembahkanlah tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah...” (Rm. 12:1). Apa yang Paulus harapkan? Ia mengharapkan, jemaat memiliki kesadaran, bahwa totalitas hidup mereka adalah kepunyaan Tuhan, yang harus dipersembahkan kepada Tuhan, sehingga tidak ada satupun yang menjadi privasi dan hak mereka. Tuhan memiliki mereka, karena mereka telah ditebus oleh Tuhan, dan harganya telah lunas dibayar! Karena itu, yang menjadi satu-satunya hak kita adalah “melayani Dia.” Paulus menyebut kita sebagai “hamba-hamba Allah” (Rm. 6:22). Seorang hamba tidak mungkin mengatakan kepada Tuannya: “Masih untung, saya mau melakukannya!” Hamba yang demikian sama dengan “hamba yang tidak setia” dalam perumpamaan tentang talenta dalam Matius 25:14-30, di mana pada akhirnya, hamba itu disebut “hamba yang jahat dan malas,” dan tidak berkenan di hati Tuhan. STUDI PRIBADI: Perhatikan perumpamaan tentang talenta di Matius 25:14-30; apakah yang diucapkan hamba yang menerima satu telenta dapat dibenarkan? Jelaskan! DOAKAN BERSAMA: Berdoalah bagi orang Kristen agar mereka tidak hidup menuruti keegoisan mereka, tetapi sebaliknya hidup sebagai hamba-hamba Allah yang berkenan kepada-Nya dan mensyukuri segala kemurahan Allah dalam hidupnya.

"Terhilang" di Tengah Keluarga (jumat, 03 Agustus 2012)

Bacaan hari ini: 1 Samuel 2:12-25 “Adapun anak-anak lelaki Eli adalah orang-orang dursila, mereka tidak mengindahkan Tuhan.” (1 Samuel 2:12) Tuntutan akan kebutuhan ekonomi keluarga yang tinggi pada masa kini menuntut kita sebagai orang tua harus bekerja ekstra keras. Kita melakukannya sebagai bagian dari tanggung jawab kita kepada anak-anak, dengan maksud agar mereka mendapatkan kehidupan dan pendidikan yang layak. Namun sadarkah kita, bahwa tanggung jawab kita sebagai orang tua, tidak berhenti sampai di situ. Ada kebutuhan lain yang harus diperhatikan secara serius, yaitu “kebutuhan rohani.” Sayangnya, pada masa kini banyak “keluarga” tidak menjadi tempat pembelajaran dan bertumbuh-kembangnya iman anak-anak. Padahal, keluarga adalah tempat yang sangat strategis dan efektif bagi pemenuhan kebutuhan rohani mereka. Meskipun menjadi orang tua di masa kini lebih sulit dan sibuk, karena berbagai faktor kebutuhan sosial-ekonomi, tapi hal ini tidak seharusnya menjadi alasan bagi kita untuk tidak memperhatikan pertumbuhan iman mereka. Jika kita mengabaikannya, maka kita sedang membuat anak-anak kita “terhilang” di tengah keluarga sendiri. Ironis, bukan?! Salah satu contohnya adalah “anak-anak imam Eli” (1 Samuel 2:12). Alkitab mencatat, mereka disebut sebagai “orang dursila,” padahal mereka adalah orang-orang yang tinggal dan melayani di rumah Tuhan, bersama ayahnya, seorang imam. Mengapa mereka terhilang, bukan di luar lingkungan keluarga, tapi justru di dalamnya? Alkitab menjelaskan, karena Imam Eli (sebagai orang tua) kurang memperhatikan kerohanian mereka dan tidak mendidik mereka secara serius dalam jalan Tuhan. Apa hasilnya? Anak-anak Imam Eli hidup tidak berkenan di hadapan Tuhan, sehingga mereka dihukum-Nya. Sebagai orang tua, kita harus senantiasa memperhatikan kebutuhan rohani mereka, sebagaimana kita memperhatikan kebutuhan fisik mereka. Jika mereka belum berdoa, baca firman, atau bertumbuh dalam imannya, kita perlu menolong mereka untuk melakukannya. Jika untuk makan-minum kita mau mengusahakannya secara serius, tidakkah terlebih lagi kebutuhan rohani mereka yang berdampak kekal! Mulailah perhatikan! STUDI PRIBADI: Menurut Anda, mana tempat yang efektif dan strategis bagi bertumbuh-kembangnya iman anak-anak? Coba jelaskan! DOAKAN BERSAMA: Berdoalah bagi setiap orang tua Kristen, agar mereka dapat memperhatikan kebutuhan rohani anak-anak mereka secara serius, sehingga kelak mereka mampu menjadi orang Kristen yang takut Tuhan.

Kapan Lagi Mengasihi Orang Tua? (kamis, 02 Agustus 2012)

Bacaan hari ini: Pengkhotbah 3:1, Kolose 3:20 “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun dibawah langit ada waktunya.” (Pengkhotbah 3:1) Kompetitif usaha, kerja, prestasi, dan karir dapat membuat kita lupa untuk memperhatikan orang tua. Tenaga, pikiran dan waktu kita curahkan untuk mencapai cita-cita kita. Gaya hidup semacam ini (individualistis) telah mengancam keharmonisan dan perhatian antar anggota keluarga. Perubahan kultur kehidupan yang mementingkan diri sendiri telah menggeser tradisi kehidupan yang harmonis, yang dibangun generasi sebelumnya. Alhasil, kehidupan keluarga masa kini mulai memasuki keadaan yang genting, jika belum dikatakan hancur. Bayangkan saja, seorang anak yang mengejar karir, tapi tidak pernah peduli dengan keadaan orang tuanya. Kejayaannya bukan menjadi bagian yang dapat mempererat hubungan orang tua-anak, tetapi justru merenggangkannya. Pengkhotbah mengingatkan kita, bahwa “untuk segala sesuatu di bawah kolong langit ini ada waktunya” (Pkh. 3:1). Ini berarti, kehidupan orang tua kita ada waktunya; termasuk kesempatan berkarir kita, juga ada waktunya. Apapun ada waktunya. Lalu apa yang harus kita pilih? Sebagai orang muda, kita lebih tertarik memakai waktu kita untuk mencapai impian kita daripada meluangkannya bersama dengan orang tua kita, seperti bercakap-cakap ringan atau mengenang masa kecil kita, dsbnya. Kita memilih untuk sibuk dengan dunia kita sendiri, sehingga lambat laun, keluarga menjadi tempat “terasing” bagi kita; kita tidak lagi memiliki hasrat yang kuat untuk bisa bersama dengan mereka. Salahkah kita, jika kita menghabiskan waktu untuk berkarir? Memakai waktu untuk berkarir tidaklah salah, tetapi jangan lupa bahwa ada “nilai-nilai kekal” yang harus kita perhatikan. Manakah yang memiliki nilai kekal, apakah itu “mengasihi orang tua,” atau “meniti karir”? Peluang untuk berkarir bisa saja kita dapatkan kembali, tapi kesempatan mengasihi orang tua tidak akan terulang lagi, ketika waktu mereka telah meninggalkan dunia ini. Jadi, selagi ada kesempatan, sesibuk apapun, perhatikanlah mereka; karena itu adalah perintah Tuhan (Kol. 3:20). STUDI PRIBADI: Jika kesempatan mengasihi orang tua bernilai kekal, apa yang harus kita lakukan? Mengapa mengasihi orang tua merupakan suatu keharusan? DOAKAN BERSAMA: Berdoalah bagi anak-anak muda yang seringkali melupakan orang tua mereka, bahkan mengabaikan mereka, agar mereka menyadari perintah Tuhan dan kembali mengasihi orang tua mereka.

Jalan Menuju Kehidupan (rabu, 1 Agustus 2012)

Bacaan hari ini: Amsal 8:32-36 “Karena siapa mendapatkan aku, mendapatkan hidup, dan Tuhan berkenan akan dia.” (Amsal 8:35) Hampir setiap tindakan kita selalu memiliki tuntunan, contoh, atau pola yang harus kita perhatikan dengan baik. Misalnya, ketika kita ingin mengendarai mobil, maka kita harus memperhatikan sejumlah rambu-rambu jalan dan teknik mengendarai mobil yang baik. Semuanya ini dimaksudkan untuk menolong kita sampai di tujuan dengan selamat, dan mengendarai mobil sesuai aturan, sehingga kita tidak ditilang oleh polisi lalu lintas. Jika untuk hal-hal semacam ini kita rela memperhatikannya secara serius, bagaimana dengan “jalan kehidupan” kita? Hidup yang kita jalani, bagaikan sebuah mobil yang sedang kita kendarai dan sedang menuju suatu tempat tertentu. Problemnya adalah, kita sering kali tidak memikirkan aturan main kehidupan ini, dan tidak memikirkan secara serius tujuan akhir hidup ini. Penulis Amsal mengajak kita untuk secara serius memikirkan “jalannya kehidupan” ini. Apa yang diajarkannya? Kita harus menemukan pola, cara, atau tuntunan hidup yang dapat memberikan kita kepastian, bahwa kita telah “mengendarai mobil kehidupan” ini dengan benar. Jika kita ingin menemukan tuntunan ini, maka kita harus menemukan “si-aku” dalam Amsal 8:35. Siapakah dia? Apakah Salomo? Bukan! Dia adalah “hikmat kehidupan,” sebuah metafora tentang “Yesus Kristus” (bdk. Yoh. 1:1-3; 14:6). Ini berarti, jika seseorang sudah memiliki Yesus, maka ia sudah memiliki jaminan kehidupan (bdk. 1Yoh. 5:13). Maka langkah yang harus kita kerjakan selanjutnya adalah “jalankan” hidup ini sesuai tuntunan-Nya. Ibarat sebuah mobil yang sedang kita kendarai sesuai aturannya, maka kita tidak akan takut dalam perjalanan kita; sebab kita pasti akan tiba di tempat tujuan dengan sukacita. Jika kita percaya Kristus dan hidup di dalam firman-Nya, maka kita tidak perlu takut dalam hidup ini, sebab kita akan tiba pada tujuan hidup kekal kita dengan sukacita. Karena itu, perhatikanlah sungguh-sungguh bagaimana Anda menjalankan kehidupan ini di hadapan Tuhan! STUDI PRIBADI: Apakah kehidupan yang kita jalani ini sesungguhnya memiliki aturannya? Jelaskan! Siapakah hikmat kehidupan yang dimaksudkan dalam Kitab Amsal 8 tersebut? DOAKAN BERSAMA: Berdoalah bagi setiap orang Kristen agar mereka hidup meneladani Kristus dan menjalankan kehidupan mereka sesuai dengan kebenaran firman Tuhan, sehingga menjadi teladan bagi orang lain juga.